Dewan HAM PBB menyurati pemerintah meminta 11 poin klarifikasi tentang dugaan penghilangan paksa dan penggunaan kekerasan di Papua. (AFP Photo/Fabrice Coffrini) |
MEDIA FAJAR TIMUR.COM -- Dewan HAM PBB menyurati pemerintah Indonesia untuk meminta data dan klarifikasi terkait dengan dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, penyiksaan, dan pemindahan paksa di Papua dan Papua Barat pada periode 2021 lalu.
Dokumen PBB ini diterima CNN Indonesia dari sumber, dan telah dikonfirmasi kepada Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Dalam surat bertanggal 22 Desember tersebut, Special Procedures Mandate Holders (SPMH PBB) mengajukan permintaan data, informasi, dan klarifikasi dalam 11 poin, di antaranya adalah jumlah orang yang tewas termasuk masyarakat sipil dalam bentrok antara kelompok OPM dan militer, penangkapan orang asli papua, informasi mengenai terbunuhnya Patianus Kogoya beserta istri dan saudaranya, hingga penjelasan tentang pembatasan akses bagi Komnas HAM, Palang Merah Internasional, serta pekerja gereja.
Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri, Rina P. Soemarno membenarkan permintaan PBB tersebut.
"Itu proses yang biasa. Kita sebagai negara anggota PBB dapat menerima pertanyaan seperti itu dan pemerintah perlu menjawab," kata Rina kepada CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Sabtu (12/2/2022).
Rina menjelaskan, komunikasi dari SPMH PBB tak hanya dilakukan ke Indonesia, dan PBB bisa meminta informasi pada negara anggota.
SPMH sendiri adalah prosedur khusus Dewan HAM PBB yang dapat menerima laporan dari semua orang dan meminta informasi dan klarifikasi atas suatu peristiwa atau kebijakan yang diduga atau berpotensi sebagai pelanggaran HAM.
"Komunikasi kepada Pemerintah Indonesia ini bukan yang pertama, dan sudah sering, berkali-kali, pemerintah Indonesia menjawab permintaan informasi dan klarifikasi tersebut," kata dia.
Rina juga menyatakan pemerintah akan menyusun fakta-fakta untuk menjawab PBB dalam rapat koordinasi antara kementerian dan lembaga terkait di bawah Kemenko Polhukam.
"Ini untuk mendapatkan informasi akurat dan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Tentunya respons Indonesia perlu menyampaikan informasi dan fakta-fakta yang akurat," kata dia.
Rapat tersebut semula akan digelar pada Senin, 14 Februari . Namun, Rina menyebut rapat terpaksa ditunda lantaran banyak anggota yang tidak bisa hadir baik secara langsung maupun daring. (*)
Red/CS
0 Komentar
Silahlan tulis komentar anda